Jam 9



                                                                            Cerpen
                                                                            JAM 9
           Tak pernah terpikirkan oleh ku akan sayap yang dulu telah patah. Aku bahkan tak pernah bisa memperbaikinya. Bahan-bahan yang biasa aku pakai untuk memperbaiki, kini telah hilang seperti debu yang ditiupkan angin.
Sayap itu.. arrrghhhh.. Aku begitu bodoh dan sangat bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa mematahkannya? Apa yang harus aku perbuat lagi sekarang? Siapa lagi yang harus aku minta tolong?
Kini, aku tak tahu harus berbuat apa. Bingung, galau, dan stress saja yang aku rasakan sepanjang hari. Aku begitu bodoh dan idiot. Sepertinya aku tidak akan memaafkan diriku lagi yang dulu.
Dan yang lebih parahnya lagi, seseorang yang mempunyai sayap yang patah itu telah pergi meninggalkan aku dengan rasa kecewa yang teramat dalam. Dia berlari, dan aku ingin mengejarnya. Tapi, kaki ku ini bahkan tidak bisa berlari. Tangan dan mulut ku juga tidak bisa menghentikannya. Seakan-akan, anggota tubuhku mendukung akan semua keputusannya. Ya, berlari meninggalkan aku sendiri disini.
Jarum jam pun terus berputar. Berputar dari jam 9 malam dan kembali lagi. Jam 9 merupakan waktu aku mematahkan sayapnya yang indah. Sayap putih yang membantunya dapat terbang ke istana, tempat perteduhannya. Namun, dia tidak bisa kembali lagi.
Aku ingin menemuinya dan ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang aku perbuat. Tapi, kemanakah aku harus mencarinya? Aku sudah berusaha mencari dengan sayapku ini. Dan hasilnya, tidak ada jejak satupun yang aku dapatkan.
Aku merasa gundah gulana. Pikiranku kosong dan hampa. Bahkan kaki dan tanganku ingin berbicara bahwa tidak ada harapan lagi untuk menemuinya. Namun, hanya sayapku saja masih ingin terus mencari dan mencari.
Perjalanan untuk mencari cintaku yang telah lama pergi ini sungguh sangat memakan waktu dan tenaga. Dan jam pun berputar lagi ke arah 9. Membuat aku meneteskan air mata yang bercucuran di atas sayapku. Mengingat akan kejadian itu, serasa sangat berbekas dan sangat menusuk sampai ke organ tubuhku yang paling dalam.
Hanya angin dan air mata yang menjadi makanan dan minumanku setiap hari. Hanya sayapku ini saja yang menjadi sahabat sejatiku. Semua tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki seakan sudah menjadi musuh bebuyutan ku. Terasa sangat capek dan gundah yang aku rasakan.
Langit dan pepohonan sudah menjadi teman penghiburku. Saat ini yang aku butuhkan cuman dia. Hanya dia sajalah, aku ingin bertemu dan meminta maaf atas semua yang telah terjadi.
Utara sampai selatan pun aku sudah mencari. Bahkan timur dan barat pun berkata dia tidak ada disini. Lalu, kemanakah aku harus mencari? Ya Tuhan! Bantulah aku untuk mencari dia. Aku sudah capek. Aku hancur. Aku stress. Ingin rasanya aku mau mati. Dan melupakan akan semuanya ini. Aku tak tahu dan tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Dimanakah dia? Sedang apakah dia? Apakah dia sedang bersedih? Ataukah dia sedang bahagia? Apakah dia sedang mencari seseorang untuk memperbaiki sayapnya yang patah?
Jika memang dia sudah mendapatkan orang yang telah memperbaiki sayapnya yang patah, aku tidak peduli. Aku pasrah akan semuanya ini. Lagipula, dia sudah bergembira dengan orang itu.
Saat ini, aku hanya ingin menemuinya hanya sekali ini saja. Walaupun ini sangat berat bagiku untuk melepaskannya. Namun, aku ingin menemuinya dan hanya meminta maaf atas semua ini. Aku hanya ingin memberikan kepada dia mawar merah yang aku bawa setiap hari sebagai tanda permohonan maafku. Aku sangat ingin menemuinya. Tak peduli apapun yang dirasakannya saat ini. Aku hanya ingin melihatnya walau hanya sekali. Ya, cuman sekali ini saja.
Rasa letih ku ini seakan telah datang bergerombolan tanpa diundang. Rasa berat telah membebani tubuhku yang telah rapuh ini. Seakan masa mudaku telah berlalu dengan sangat cepat. Tapi, sayapku masih sangat kuat untuk mencari dan terus mencari akan keberadaan cintaku.
Jikalau dia mendengar akan suara kerapuhanku ini. Dan jikalau dia merasakan akan apa yang dirasakan olehku yang sedang gundah gulana ini, tanyaku apa yang akan dia lakukan?
Hari demi hari telah aku lalui dengan penderitaan yang sungguh sangat menyiksa. Jarum jam pun kembali lagi ke angka 9. Angka yang membuatku putus asa ketika melihatnya. Jam 9 merupakan awal semua ini terjadi. Sayap yang patah telah lama pergi. Meninggalkan aku sendiri. Hanya air mata yang setiap hari dirasakan oleh pipiku.
Akupun beranjak dari petiduranku dan kembali mencari dia. Kata maaf pun sudah sangat aku hafal. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah dimana keberadaan dia? Orang yang selama ini ku cari? Dan mungkin hanya 30 detik saja aku ingin berbicara. Dan setidaknya, penderitaan yang menyiksa ini dapat aku bunuh dengan sebuah permohonan maaf dan sebatang mawar merah.
Hidup ini... ah, dimanakah dia? Aku seperti orang kebingungan. Yang bertanya kepada rumput dan pepohonan. Dan mereka tahu tapi tidak ingin memberitahu. Ingin marah rasanya diriku terhadap mereka.
Aku terus mencari dan mencari. Tanah yang aku pijaki ini juga terasa sudah sangat bosan melihat wajah aku. Aku tidak tahu bagaimana rasanya roti dan segelas teh hangat lagi. Sayapku berbicara kepadaku bahwa ia ada di depan sana. Kejarlah! Namun, kaki ini tak bisa untuk berlari lagi. Sama seperti kaki buyut yang akan segera lisut.
Aku pun sampai di garis akhir hutan yang sangat rindang ini. Ku temukan sebuah jalan yang amat sepi. Seperti jalan berhantu, dan tak ada kendaraan yang melintasi. Jalan yang sangat misterius namun kakiku tetap melangkah atas perintah sayapku.
Aku pun berjalan menyusuri jalan ini. Mentari akan segera tenggelam. Dan aku merasa sangat takut akan jarum jam yang akan berputar lagi ke arah jam 9. Angka yang membuat aku setiap hari menitikkan air mata yang mengalir ke pipiku ini. Mengingat akan semua kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sayap yang patah itu kini telah lama pergi. Pergi ke tempat yang aku tidak tahu dimana. Pergi ke sebuah negeri yang sangat jauh. Yang mungkin akan sampai dalam waktu 100 tahun.
Aku pun berteduh sejenak memikirkan akan semuanya ini. Apakah hanya sebatang mawar merah dan permohonan maaf saja yang akan kuberikan? Apakah dia akan memaafkanku? Ah.. tidak.. Hal seperti itu bahkan tidak boleh terbayangkan di dalam benakku. Aku harus percaya diri akan semuanya ini. Melihat wajahnya saja, mungkin saat itulah penderitaanku akan hilang. Walau wajahnya pada saat itu terlihat penuh sekali kebencian.
Jarum jam pun kembali mengunjungi angka 9. Aku merasa angka itu terus tertawa kepadaku. Dan berkata, “Kamu tidak mempunyai harapan lagi bertemu dengan dia. Dia sudah mengunjungi orang lain. Dan orang itu sudah memperbaiki sayapnya yang patah. Kembalilah ke asalmu. Carilah orang lain. Tidak ada harapan lagi bertemu dan meminta maaf kepada dia”
Aku ingin tidur. Tidur di dalam keterpurukan hidupku ini. Tidur dan melupakan akan apa yang aku perbuat selama ini. Adakah orang lain yang ingin memberikan kepadaku selimut kegembiraan? Yang membuat aku kembali ceria seperti dulu?
Matahari mulai menunjukan wajahnya yang berseri kepada dunia. Aku pun belum tersadar. Namun, yang aku rasakan adalah kehangatan pelukan matahari yang membuatku tersadar saat itu.
Jarum jam kembali lagi ke angka 9. Dan kini saatnya aku terbangun dari tidurku yang sangat pahit. Tapi, yang aku lihat adalah sebuah rumah yang amat besar dan aku pun di dalam rumah ini. Aku pun bergegas bangun dan membuka kamarku dengan rasa heran.
Aku melihat banyak orang yang sangat sibuk mengurusi rumah itu. Rumah yang sangat megah bak istana langit. Aku pun terkejut pada saat ada seseorang yang datang menghampiriku. Seorang wanita yang berparas cantik nan anggun. Bergaun merah jambu dan bersepatu kaca. Rupanya dia sudah mempunyai anak, namun kecantikkannya masih tetap terjaga.
Dia menghampiriku dan berkata, “Orang yang ingin kamu temui, sudah sangat lama menunggumu di taman belakang rumah. Segeralah menemuinya. Dialah yang menemukanmu terkapar di pinggir jalan ketika dia baru pulang dari tempat persembunyiannya. Dialah yang telah merawatmu selama 3 hari kamu tidak sadarkan diri. Badanmu sangat lemas dan kamu jatuh sakit. Tapi, sekarang kamu sudah baikkan. Segeralah menemuinya!”
Keheranan pun tampak di wajahku. Apa yang dimaksudkannya? Orang yang telah merawatku? Siapa dia? Apakah...? ah tidak. Aku tidak boleh membuat kesimpulan secara sembarangan.
Aku pun segera mengganti pakaianku yang sudah sangat kusut dan kusam yang telah mereka sediakan buatku. Kemeja putih dengan stelan jas hitam yang mewah dan berdasi. Seakan hari ini adalah hari spesial buatku. Wewangian yang aku pakai juga semerbak harum bunga di padang. Sangat khas beraroma lelaki. Dan semua yang aku pakai ini juga, sepertinya semua orang di dalam rumah ini sudah mengetahui akan apa yang aku sukai. Sebatang mawar merah pun aku sisipkan ke dalam saku jas yang aku kenakan.
Makanan dan minuman yang mereka sajikan juga sangat tepat dengan apa yang aku sukai. Steak sapi dengan sepiring nasi dan jus avocad merupakan makanan yang sudah 3 minggu aku tidak pernah rasakan.
Matahari telah menunjukkan keperkasaanya. Dan tak lama kemudian, ia seakan malu dan ingin tidur di tempatnya. Seorang lelaki berpakaian pelayan ala restoran datang menghampiriku untuk segera menemui seseorang yang telah menolongku ini.
Aku pun pergi dengan rasa ingin tahu. Siapakah dia? Kaki yang lemah waktu itu, sekarang bagaikan kaki seorang anak kecil yang hanya ingin berlari kesana kesini.
Pintu belakang pun aku buka. Dan terlihat seorang wanita bergaun hijau padang rumput dan bersepatu hitam pekat sedang duduk di sebuah ayunan yang membelakangiku. Terlihat aku sangat mengenal wanita itu. Terlintas di dalam pikiranku bahwa, apakah ini dia? Apakah dia, orang yang selama ini aku cari?
Langkah kakiku sangat pasti. Sayapku berbicara kepadaku bahwa inilah dia. Namun, aku tak percaya atas kejadian ini. Mungkin saja orang ini memintaku untuk berterimakasih kepada dia karena sudah menolongku.
Semakin sampai ke tempat ayunan itu dan aku pun memberanikan diri untuk memegang pundaknya. Tanganku akhirnya mendarat di pundaknya dan orang itu membalikkan pandangannya kepadaku.
Senyuman yang terpancar dari wajahnya dan air mata yang ia teteskan, bersamaan dengan kata permohonan maaf ku yang selama ini aku mengingatnya dan bahkan menghafalnya.
Dia pun berdiri melihat wajahku, dan aku hanya menunduk bahkan sampai berlutut untuk mengucapkan permohonan maaf atas sayapnya yang telah patah. Dia pun ikut berlutut dan berkata, “Ayo, bangunlah jangan bersedih. Hapuslah air matamu dari wajah tampanmu itu”.
Tapi, aku segera meraih tangannya dan berkata, “Geisha, terimalah permohonan maafku ini. 3 minggu aku mencari kamu dan hanya ingin meminta maaf atas semua yang telah terjadi. Hatimu itu, aku sudah menganggapnya sebagai sayap yang selalu terbang ke negeri hatiku ini. Aku mencarimu. Bahkan angin dan air mataku ini menjadi makananku siang dan malam. Aku meminta maaf atas semuanya ini. Kejadian waktu itu. Ya, kejadian yang membuat sayapmu ini patah, sampai aku tidak bisa memperbaikinya, aku sangat meminta maaf. Hubungan aku dan Yeni hanyalah sebatas teman. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Tidak ada orang ketiga di dalam hubungan kita berdua. Hanya aku dan kamu seorang. Hanya kamulah yang aku punya. Hanya kamulah bidadari ku yang paling menawan. Percayalah padaku. Maukah engkau memaafkanku?”
Geisha pun segera memelukku dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Sungguh sangat mencintaimu. Kesalahanmu yang dulu, kini aku sudah maafkan. Mulai sekarang aku akan mempercayaimu. Aku sempat bersedih ketika melihat kamu tertidur di jalan seperti orang sakit. Aku membawamu ke sini dengan air mata yang berlinang. Aku berusaha membangunkanmu. Namun, hanya namaku dan permohonan maafmu yang hanya aku dengar. Aku mengerti sekarang akan cintamu yang begitu tulus kepadaku. Aku sangat mencintaimu. Sungguh sangat cinta”.
Terasa sangat dingin dan haru yang aku rasakan. Air mata aku dan Geisha pun mengalir secara bersamaan. Aku pun menghapus air mataku dan air matanya dan berbicara kepadanya, “Trimakasih sayang. Aku sungguh sangat mencintaimu. Kini, penderitaanku telah hilang setelah melihatmu dan kata cinta dari mulutmu. Mungkin, bunga mawar ini aku berikan sebagai tanda akhir bahwa aku tidak lagi menyakiti perasaanmu. Ku mohon terimalah!” Dan Geisha pun kembali tersenyum dan mengambil mawar dari tanganku serta berkata, “Marilah ke dalam. Aku sudah menyiapkan pesta buatmu. Kamu tahukan, hari ini adalah hari jadian kita berdua. 14 Februari bertepatan dengan hari kasih sayang. Aku membuat semuanya ini agar kamu tidak terus-terusan lagi meminta maaf kepadaku. Karena aku sekarang sudah sadar, bahwa cintamu kepadaku sungguh sangat tulus. Marilah kita berpesta di dalam. Terimakasih juga buat bunga mawar yang indah ini.”
Geisha pun segera menarik tanganku dan membawaku ke dalam untuk berpesta. Sangat ramai di rumahnya saat itu.
Aku tahu sekarang, bahwa cinta sejati yaitu rela mengorbankan segalanya. Jam sudah menunjukan pukul 9. Angka yang dulunya aku takuti, kini telah menjadi kebahagiaan buatku. Aku menatap jam 9 dan berkata, “Aku telah menang. Ternyata, harapan akan selalu ada bagi orang yang selalu mendambakannya. Sekarang kamu hanyalah sebuah angka yang tidak pantas menyakitiku lagi. Teruslah berputar dan jangan coba-coba membuatku memikirkan hal yang pahit itu lagi. Teruslah berputar maka aku dan Geisha sampai ke acara kebahagiaan dan sampai maut yang memisahkan kami.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

100 KUMPULAN LAGU SEKOLAH MINGGU

DRAMA NATAL_3 ORANG MAJUS DAN BINTANG TIMUR

Drama Natal Musikal: Kedamaian Natal??